
Sektor pariwisata Indonesia menyimpan potensi besar, baik dari sisi alam maupun budaya dan religi. Namun, pemanfaatannya seringkali belum maksimal karena keterbatasan pengelolaan dan kurangnya keterlibatan masyarakat secara optimal. Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, KH Ubaidillah Amin atau Gus Ubaid, memberikan pandangan strategis terkait cara mengembangkan pariwisata daerah agar memberikan manfaat ekonomi sekaligus menjaga nilai-nilai sosial dan budaya.
Tantangan dan Peluang Wisata Daerah
Menurut Gus Ubaid, banyak daerah di Indonesia memiliki potensi wisata alam dan religi yang luar biasa, namun belum digarap dengan maksimal. Beberapa kepala daerah memang sudah berupaya memperbaiki infrastruktur dan mempromosikan destinasi mereka, tetapi kendala sering muncul pada aspek pengelolaan serta kurangnya edukasi kepada masyarakat.
Ia menegaskan bahwa daerah yang ingin membuka diri sebagai destinasi wisata harus siap menghadapi tantangan, termasuk potensi munculnya hiburan malam, alkohol, dan aktivitas yang berpotensi menimbulkan masalah sosial.
“Kalau mau buka diri jadi daerah wisata, mau tidak mau itu tantangannya. Kuncinya adalah edukasi masyarakat,” tegas Gus Ubaid.
Pentingnya Edukasi dan Pengelolaan Wisatawan
Gus Ubaid menilai bahwa wisatawan tidak selalu menghabiskan seluruh waktunya untuk hal-hal negatif. Ia mencontohkan, jika seseorang berlibur selama seminggu, kemungkinan besar hanya sebagian kecil waktunya dihabiskan untuk hiburan malam.
Sisanya, wisatawan akan membelanjakan uang untuk berkunjung ke tempat-tempat menarik atau membeli produk lokal. Karena itu, pemerintah daerah perlu mengarahkan pengeluaran wisatawan agar lebih banyak terserap oleh sektor ekonomi produktif seperti UMKM, kuliner, dan kerajinan tangan.
Fokus pada Wisata Religi untuk Potensi Ekonomi
Jika suatu daerah merasa belum siap menghadapi risiko sosial dari wisata umum, Gus Ubaid menyarankan untuk fokus pada wisata religi. Jenis wisata ini dinilai memiliki potensi ekonomi yang besar, terutama di wilayah yang memiliki tradisi keagamaan kuat seperti Jawa.
Salah satu contoh sukses adalah Wisata Religi Sunan Ampel di Surabaya yang setiap harinya dikunjungi 3.000–5.000 orang, bahkan lebih ramai pada malam Jumat. Dengan pengelolaan yang baik, destinasi seperti ini dapat menjadi penggerak ekonomi lokal sekaligus membuka lapangan kerja baru.
“Kalau dikelola dengan baik, potensi ini bisa membuka lapangan pekerjaan dan menjadi sumber cuan masyarakat,” ujar Gus Ubaid.
Wisata Religi Lintas Agama
Selain destinasi wisata Islam, Gus Ubaid juga menekankan pentingnya mengembangkan wisata religi lintas agama. Contohnya, kegiatan ibadah umat Hindu dari Bali ke Candipuro dan Bromo di Lumajang, atau kunjungan wisatawan ke candi-candi seperti Borobudur dan Prambanan yang sudah mendunia.
Potensi besar ini harus ditunjang oleh fasilitas yang memadai, promosi yang tepat sasaran, serta keterlibatan pelaku UMKM lokal dalam menyediakan produk dan layanan. Dengan strategi ini, wisata religi dapat menjadi pilar ekonomi baru yang berkelanjutan.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Gus Ubaid menegaskan, Kementerian Pariwisata bersama dinas terkait di tingkat daerah perlu lebih serius melihat potensi wisata religi. Menurutnya, wisata religi bukan hanya soal ibadah atau spiritualitas, tetapi juga peluang nyata untuk menggerakkan roda perekonomian daerah.
Keterlibatan masyarakat lokal sangat penting, baik sebagai pelaku usaha, pengelola destinasi, maupun bagian dari sistem pelayanan wisata. Sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha akan menjadi kunci sukses optimalisasi pariwisata daerah.
Sumber :detik.com
